Secangkir Teh buat mu Teman

Berbicara tentang pluralisme, maka kita berbicara tentang perbedaan yang melingkupi suatu ruang dan waktu. Suatu hal yang saling berkaitan, dan memiliki hubungan timbal balik yang lebih bersifat kasualitas. Perbedaan menjadi kunci dalam pluralisme, sebab tak ada paham ini dalam homogenitas.

Pluralisme sebagai penanda bahwa suatu masyarakat yang modern dan berkembang menuju suatu yang lebih kompleks. Hal ini terus berjalan melalui evolusi yang terjadi di dalam struktur masyarakat, yang berjalan dan mengalami perkembangan tentang ide-ide untuk menjadi satu. Pluralisme tak bisa dihindari, karena setiap masyarakat akan menghadapi keadaan ini, yang bisa dilakukan menyikapi dan memberikan jawaban sebagai respon konkret.

Di dalam masyarakat, tentu ada sesuatu yang lebih mampu bertahan lama melebihi ruang dan waktu. Sesuatu itu adalah ide-ide, yang memiliki sifat universal dan berguna bagi masyarakat. Sehingga ide-ide itu dipertahankan untuk menjaga harmoni.

Berbicara banyak hal, tentu menjadikan kita berbicara sedikit hal. Berbicara dengan lingkup yang lebih kecil, menjadikan kita menyadari dan lebih mengerti tentang sesuatu yang terbatas. Setelah membahas pada lingkup masyarakat, dengan bahasan yang lebih luas, kita memasuki sesuatu yang lebih sederhana dan lebih terbatas, yaitu di kampus kita ini (sebuah Universitas terbesar dan terlengkap di Kalimantan, (maklum yang nulis orang Unlam, ckckckck ^_^)).

Sebagai awal, kita harus tahu kenapa kampus kita pluralisme? Jawab mudahnya karena di sini semua berkumpul menjadi satu. Apa yang menjadi satu? Keberagaman daerah, keberagaman fakultas, keberagaman minat dan bakat, dan keberagaman apa saja yang membuat kita berbeda (itulah intinya n_n).

Berkaca dari malam inagurasi ini, banyak hal yang menjadikan kita miris. Kita semua seperti terkotak-kotak, perbedaan tak menjadikan kita satu, tak menjadikan kita bisa menjadi bersama. Hanya ada satu hal yang menjadikan kita sama, yaitu tempatnya di muka rektorat. Aneh, kita yang mengaku kaum akademisi kok malah terpenjara oleh sebuah konsep yang kita buat dan kita kembangkan demi membentengi perkembangan zaman.

Mungkin pola interaksi yang berkutat pada satu lokasi, kecilnya ruang interaksi antar mahasiswa yang berbeda fakultas turut memberikan sumbangan yang relevan dalam membangkitkan sikap-sikap yang berbau chauvinisme, primordialisme, etnisitas, dan semua jenis paham yang bersifat etno dan egosentris. Sebenarnya dalam banyak kasus, hal ini memang bagus untuk mempertahankan ciri khas dari suatu kelompok, agar tidak lenyap bersama tantangan zaman. Tapi, dalam banyak kasus juga menjadi boomerang yang memporak-porandakan suatu komunitas bila kita tidak bisa menjadikan perbedaan sebagai alat pemersatu yang ideal demi kemajuan bersama.

Langkah konkret yang nyata adalah membuka media yang bisa menjembatani, membuka media yang bisa menyampaikan keinginan di antara mahasiswa, membuka media yang bisa merobek semua batas-batas perbedaan yang mengukung, menjadikan ini semua hanya gumpalan embun dan kabut yang ketika siang menjelang semuanya hilang tanpa sisa. Kita menjadi kumpulan akademisi yang tak lagi terikat oleh ruang dan waktu kecuali sebuah identitas yaitu almamater yang pernah tertumpahkan darah dalam perjalanan panjangnya. Kita menjadi satu, kita adalah mahasiswa Unlam bukan mahasiswa FKIP, FH, FEKON, FTE, FISIP, atau FMIPA sekalipun (mau nyebut baraataan, kapanjangan hehehehe . . .).

Kitalah yang berdiri pertama saat ketidakadilan melanda, saat semua sistem birokrasi hanya menyesengsarakan rakyat, kitalah yang menjadi barisan pelopor untuk kemajuan negeri ini. Buat apa kita terjebak dalam pluralisme yang semu, dalam sebuah strategi cantik untuk memecahkan kita dalam uni-uni yang federalis, sesuatu perserikan jahat yang notabanenya adalah hantaman godam yang meluluhkan ketidakberdayaan ini.

Kita percaya bahwa hati ini hanya memiliki satu harapan yang terus kita perjuangkan, demi keberkatan dan keberkahan yang secara nyata kita kumandangkan dalam UUD yang senantiasa kita baca tanpa makna setiap senin pagi dalam beberapa kurun waktu yang lalu. Disini kita bersama, disini kita berjuang, menapaki perbedaan menjadi keutuhan. Seperti secangkir teh hangat di sore hari, dia adalah kumpulan air, teh, dan gula. Kita nikmati tanpa bisa membedakan, seperti itulah kita semua. Akhirnya, maukah anda bersama kami untuk menikmati “secangkir” teh hangat ini, dikala senja menjelang di pinggir pantai yang memiliki diorama terindah sepanjang masa.

Tinggalkan komentar